Minggu, 28 Maret 2021

BISNIS KEHUTANAN : MINYAK ATSIRI CENGKEH

 Makalah Bisnis Kehutanan                                                                                                   Medan,  Maret 2021

BISNIS MINYAK ATSIRI CENGKEH (Syzygium aromaticum L.)

Dosen Penanggung Jawab:

Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si.

Disusun Oleh:

Yon Felix Hutagalung

181201115

MNH 6

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 

 


 

 

 

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

                                                                  
                                                          2021




KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Bisnis Kehutanan ini dengan baik dan tepat waktu. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai salah satu tugas  Bisnis Kehutanan, di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara. Adapun judul Makalah ini adalah “Bisnis Minyak Atsiri Cengkeh (Syzygium aromaticum L.)”.

                 Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen penanggung jawab mata kuliah, Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si. yang telah memberikan materi dengan baik dan benar.

                 Meski penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan makalah ini agar  mendapat yang terbaik. Namun penulis sadar bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

           

     Medan,     Maret 2021

  

                                                                                                                     Penulis

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara pemilik hutan terbesar di dunia dengan luas kawasan hutan sebesar 120,7 juta ha. Namun, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir terjadi deforestasi yang disebabkan oleh kegiatan manusia diantaranya illegal logging, kebakaran hutan dan lahan, serta konflik kepentingan yang tidak lagi mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Kondisi tersebut menyebabkan semakin menurunnya pasokan kayu, sehingga perlu dilakukan upaya pengelolaan hutan salah satunya adalah dengan meningkatkan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) (Iqbal dan Septina, 2018).

Hasil hutan bukan kayu yang selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan bagian dari ekosistem hutan yang memiliki peranan yang beragam, baik terhadap lingkungan alam maupun terhadap kehidupan manusia. HHBK yang sudah biasa dimanfaatkan dan dikomersilkan diantaranya adalah cendana, gaharu, sagu, rotan, aren, sukun, bambu, sutera alam, jernang, kemenyan, kayu putih, aneka tanaman obat, minyak atsiri dan madu. Secara ekologis HHBK tidak memiliki perbedaan fungsi dengan hasil hutan kayu, karena sebagian besar HHBK merupakan bagian dari pohon. Istilah Hasil Hutan Non Kayu semula disebut Hasil Hutan Ikutan merupakan hasil hutan yang berasal dari bagian pohon atau tumbuh-tumbuhan yang memiliki sifat khusus yang dapat menjadi suatu barang yang diperlukan oleh masyarakat, dijual sebagai komoditi ekspor atau sebagai bahan baku untuk suatu industri (Tang dkk., 2019).

Cengkeh termasuk suku Myrtaceae yang banyak ditanam di beberapa negara termasuk Indonesia. Tanaman ini berpotensi sebagai penghasil minyak atsiri. Minyak cengkeh dapat diperoleh dari bunga cengkeh (Clove Oil), tangkai atau gagang bunga cengkeh (Clove Steam Oil) dan dari daun cengkeh (Clove Leaf Oil). Kandungan minyak atsiri di dalam bunga cengkeh mencapai 21,3% dengan kadar eugenol antara 78-95%, dari tangkai atau gagang bunga mencapai 6% dengan kadar eugenol antara 89-95%, dan dari daun cengkeh mencapai 2-3% dengan kadar eugenol antara 80-85%. Kandungan terbesar minyak cengkeh adalah eugenol, yang bermanfaat dalam pembuatan vanilin, eugenil metil eter, eugenil asetat, dll. Vanilin merupakan bahan pemberi aroma pada makanan, permen, coklat dan parfum. Bunga cengkeh juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan rokok (Hadi, 2012).

Minyak atsiri atau disebut juga dengan essensial oil, etherial oil, atau volatile oil adalah salah satu komoditas yang memiliki potensi yang bisa dikembangkan di Indonesia. Minyak atsiri adalah ektsrak alami dari jenis tumbuhan tertentu, baik berasal dari daun, bunga, kayu, biji-bijian, bahkan putik bunga. Dari 70 jenis minyak atsiri yang selama ini diperdagangkan di pasar internasional dan 40 jenis di antaranya dapat di produksi di Indonesia. Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas ekspor agroindustri potensial yang dapat menjadi andalan bagi Indonesia untuk mendapatkan devisa. Indonesia semestinya mampu menjadi produsen utama minyak atsiri dunia. Di Indonesia ada 40 jenis minyak atsiri yang bisa di kembangkan, salah satunya adalah minyak daun cengkeh. Seperti diungkapkan oleh Bank Indonesia industri minyak daun cengkeh tidak hanya memproduksi minyak daun cengkeh sebagai komoditas ekspor yang  menghasilkan devisa, tetapi juga menyerap tenaga kerja yang cukup banyak (Khozali dkk., 2012).


1.2. Rumusan Masalah

1.   Bagaimana klasifikasi ilmiah serta morfologi dari Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) ?

2.   Apa kandungan dan manfaat dari Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) ?

3.   Apa yang dimaksud dengan minyak atsiri cengkeh dan apa manfaatnya?

4.   Bagaimana potensi minyak atsiri cengkeh di Indonesia ?


1.3. Tujuan

1.   Untuk mengetahui klasifikasi ilmiah serta morfologi dari Cengkeh (Syzygium aromaticum L.).

2. Untuk memahami dan mengetahui kandungan dan manfaat dari Cengkeh (Syzygium aromaticum L.).

3.   Untuk mengetahui tentang minyak atsiri cengkeh dan manfaatnya.

4.   Untuk mengetahui potensi minyak atsiri cengkeh di Indonesia.



BAB II

ISI

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Cengkeh (Syzygium aromaticum L.)

Cengkeh dikenal dengan berbagai macam istilah di beberapa daerah seperti bunga rawan (Sulawesi), bungeu lawang (Sumatra) dan cengkeh (Jawa). Istilah lain dari cengkeh diantaranya sinke, cangke, cengke, gomode, sake, singke, sangke dan hungo lawa. klasifikasi ilmiah cengkeh adalah sebagai berikut:

Kingdom         : Plantae

Divisi              : Spermatophyta

Subdivisi         : Angiospermae

Kelas               : Dicotyledoneae

Bangsa            : Myrtales

Famili              : Myrtaceae

Marga              : Syzygium

Spesies            : Syzygium aromaticum L

Gambar 1. Pohon Cengkeh

Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) merupakan tanaman pohon dengan batang besar berkayu keras yang tingginya mencapai 20–30 m. Tanaman ini mampu bertahan hidup hingga lebih dari 100 tahun dan tumbuh dengan baik di daerah tropis dengan ketinggian 600–1000 meter di atas permukaan laut (dpl). Daun dari tanaman cengkeh merupakan daun tunggal yang kaku dan bertangkai tebal dengan panjang tangkai daun sekitar 2–3 cm. Daun cengkeh berbentuk lonjong dengan ujung yang runcing, tepi rata, tulang daun menyirip, panjang daun 6–13 cm dan lebarnya 2,5–5 cm. Daun cengkeh muda berwarna hijau muda, sedangkan daun cengkeh tua berwarna hijau kemerahan.

Gambar 2. Cengkeh Kering

             Tanaman cengkeh mulai berbunga setelah berumur 4,5–8,5 tahun, tergantung keadaan lingkungannya. Bunga cengkeh merupakan bunga tunggal berukuran kecil dengan panjang 1–2 cm dan tersusun dalam satu tandan yang keluar pada ujung-ujung ranting. Setiap tandan terdiri dari 2–3 cabang malai yang bisa bercabang lagi. Jumlah bunga per malai bisa mencapai lebih dari 15 kuntum. Bunga cengkeh muda berwarna hijau muda, kemudian berubah menjadi kuning pucat kehijauan dan berubah menjadi kemerahan apabila sudah tua. Bunga cengkeh kering akan berwarna coklat kehitaman dan berasa pedas karena mengandung minyak atsiri.

2.2. Kandungan Kimia dan Manfaat Cengkeh (Syzygium aromaticum L.)

Tanaman cengkeh mengandung rendemen minyak atsiri dengan jumlah cukup besar, baik dalam bunga (10–20%), tangkai (5–10%) maupun daun (1–4%). Minyak atsiri dari bunga cengkeh memiliki kualitas terbaik karena hasil rendemennnya tinggi dan mengandung eugenol mencapai 80–90%. Kandungan minyak atsiri bunga cengkeh didominasi oleh eugenol dengan komposisi eugenol (81,20%), trans-β-kariofilen (3,92%), α-humulene (0,45%), eugenol asetat (12,43%), kariofilen oksida (0,25%) dan trimetoksi asetofenon (0,53%). Eugenol (C10H12O2) adalah senyawa berwarna bening hingga kuning pucat, kental seperti minyak, bersifat mudah larut dalam pelarut organik dan sedikit larut dalam air. Eugenol memiliki berat molekul 164,20 dengan titik didih 250–255ºC. Eugenol merupakan senyawa yang terdapat pada minyak atsiri bunga cengkeh dan berfungsi sebagai zat antifungi dan antibakteri.

Tanaman cengkeh banyak dimanfaatkan dalam industri rokok kretek, makanan, minuman dan obat-obatan. Tanaman cengkeh bahkan dijadikan sebagai obat tradisional karena memiliki khasiat untuk mengobati sakit gigi, rasa mulas sewaktu haid, rematik, pegal linu, masuk angin, sebagai ramuan penghangat badan dan penghilang rasa mual. Bagian tanaman cengkeh yang banyak dimanfaatkan adalah bunga, tangkai bunga dan daun. Bunga cengkeh yang dikeringkan dapat digunakan sebagai bahan penyedap rokok dan obat penyakit kolera. Minyak cengkeh yang didapatkan dari hasil penyulingan bunga cengkeh kering (cloves oil), tangkai bunga cengkeh (cloves stem oil) dan daun cengkeh kering (cloves leaf oil) banyak digunakan sebagai pengharum mulut, mengobati bisul dan sakit gigi, sebagai penghilang rasa sakit, penyedap masakan dan wewangian.

2.3. Minyak Atsiri Cengkeh (Syzygium aromaticum L.)

Minyak daun cengkih berwarna kuning pucat, bila kena cahaya matahari berubah menjadi coklat. Minyak dapat larut dalam etanol 70-90% dan eter, berat jenis (25°C) 1,014-1,054, putaran optik (20°C) 0-15, dan indeks bias (20°C) 1,528-1,537. Minyak daun cengkih kasar asal Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) warna coklat kehitaman dan bau aromatik kuat, rasa rempah dan pedas, 2) berat jenis(20°C) 1,025-1,0609, 3) indeks bias (20°C) 1,527-1,541, 4) kandungan eugenol minimum 78% (cara basah), 5) kelarutan dalam etanol 70% (v/v) 1:2, dan 6) dapat disimpan hingga 2 tahun. Komponen utama minyak cengkih adalah eugenol (70-80%), asetil eugenol, beta-kariofilen, dan vanilin. Juga mengandung tanin, asam galatonat, metil salisilat, asam krategolat, senyawa flavonoid eugenin, kaemferol, rhamnetin, dan eugenitin serta senyawa triterpenoid asam oleanolat, stigmasterol, dan kampesterol.

Gambar 2. Minyak Atsiri Cengkeh

Eugenol dari minyak cengkih banyak dipakai dalam industri kesehatan dalam bentuk obat kumur, pasta, bahan penambal gigi, balsam, dan penghambat pertumbuhan jamur patogen. Turunan dari eugenol seperti isoeugenol dan vanilin dimanfaatkan dalam industri parfum, wewangian, penyedap makanan, penyerap ultraviolet, stabilisator, dan antioksidan dalam pembuatan plastik dan karet. Metil eugenol mempunyai aroma khas serangga betina (feromon seks), sebagai atraktan untuk menarik.

2.4. Potensi Minyak Atsiri Cengkeh (Syzygium aromaticum L.)

Indonesia merupakan pemasok utama minyak cengkih untuk pasar India dan Arab Saudi. Kekurangan kebutuhan di negara tersebut dipasok oleh Zanzibar, Madagaskar, dan Sri Lanka. Minyak cengkih Indonesia juga dipasarkan ke Vietnam, Pakistan, Bangladesh, Amerika, dan Uni Emirat Arab. Berdasarkan ketersediaan bahan baku, teknologi, nilai jual, peluang pasar minyak cengkih dan turunannya, kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat, minyak cengkih berpeluang dikembangkan.

Potensi luas areal tanam cengkeh di Indonesia mencapai 455.393 ha dengan produksi daun cengkeh gugur 2.368.043 ton/tahun dengan rendemen 1 - 4%. Menurut peneliti, produksi tanaman cengkeh berumur > 20 tahun dapat menghasilkan daun cengkeh gugur sekitar 0,96 kg/pohon/minggu, sedang cengkeh berusia < 20 tahun dapat menghasilkan daun cengkeh gugur sekitar 0,46 kg/pohon/minggu. Ditinjau dari aspek pasar, minyak cengkeh mempunyai prospek pemasaran yang menjanjikan karena permintaan minyak cengkeh 5.000 – 6.000 ton per tahun rata-rata harga Rp. 400.000 per botol dan 70%-80% permintaannya ada di Indonesia khususnya industri kimia aromatik turunan minyak cengkeh.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1.   Minyak atsiri adalah ektsrak alami dari jenis tumbuhan tertentu, yang memiliki banyak kegunaan di bidang industri seperti kosmetik, parfum, bahan penyedap, dan lain-lain.

2.   Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) merupakan tanaman pohon dengan batang besar berkayu keras yang tingginya mencapai 20–30 m dan banyak dimanfaatkan dalam industri rokok kretek, makanan, minuman dan obat-obatan.

3.   Minyak astsiri cengkeh berwarna kuning pucat, bila kena cahaya matahari berubah menjadi coklat dengan kandungan eugenol (81,20%), trans-β-kariofilen (3,92%), α-humulene (0,45%), eugenol asetat (12,43%), kariofilen oksida (0,25%) dan trimetoksi asetofenon (0,53%).

4.   Eugenol dari minyak cengkih banyak dipakai dalam industri kesehatan dalam bentuk obat kumur, pasta, turunan dari eugenol seperti isoeugenol dan vanilin dimanfaatkan dalam industri parfum, wewangian, penyedap makanan, penyerap ultraviolet, stabilisator, dan antioksidan.

5.   Minyak cengkeh berpeluang dikembangkan, minyak cengkeh mempunyai prospek pemasaran yang menjanjikan karena permintaan minyak cengkeh 5.000 – 6.000 ton per tahun rata-rata harga Rp. 400.000 per botol dan 70%-80% permintaannya ada di Indonesia

Saran

            Peluang bisnis minyak cengkeh cukup menjanjikan, untuk itu perlu dilakukan perluas areal tanam cengkeh, sehingga potensi hasil lebih besar dan dapat menyerap tenaga kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Bustaman S. 2011. Potensi Pengembangan Minyak Daun Cengkih Sebagai Komoditas Ekspor Maluku. Jurnal Litbang Pertanian, 30(4): 132-239.

Hadi S. 2012. Pengambilan Minyak Atsiri Bunga Cengkeh (Clove Oil) Menggunakan Pelarut n-Heksana Dan Benzena. Jurnal Bahan Alam Terbarukan, 1(2): 25-30.

Iqbal M, Septina AD. 2018. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Oleh Masyarakat Lokal Di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Ekosistem Dipterokarpa, 4(1): 19-34.

Khozali A, Supardi S, Hastuti D. 2012. Analisa Usaha Penyulingan Minyak Daun Cengkeh (Syzygium aromaticum, syn. Eugenia aromaticum). Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, 8(2): 32-42.

Lekatompessy M, Girsang W, Timisela NR. 2019. Analisis Nilai Tambah Dan Strategi Pemasaran Minyak Cengkeh Di Pulau Ambon. Jurnal Agribisnis Kepulauan, 7(2): 106-119.

Tang M, Malik A, Hapid A. 2019. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Bambu Oleh Masyarakat Terasing (Suku Lauje) di Desa Anggasan Kecamatan Dondo Kabupaten Tolitoli. Jurnal Warta Rimba, 7(2): 19-26.




































Kamis, 26 Desember 2019

REVIEW UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

Makalah Kebijakan dan Perundang-Undangan Kehutanan                              Medan,   Desember 2019
REVIEW UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

Dosen Penanggungjawab:
Dr. Agus Purwoko, S. Hut., M. Si.

Disusun Oleh :
Yon Felix Hutagalung
181201115

HUT 3C









PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019












KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Makalah Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan yang berjudul “Review UU No. 41 Tahun 1999” ini dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian Makalah ini, penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Agus Purwoko, S. Hut., M. Si. selaku Dosen Penanggung jawab Mata Kuliah Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan, yang telah mengajarkan materi dengan baik, yang hasilnya kemudian dipaparkan dalam Makalah ini.
Penulis sadar bahwa penulisan Makalah ini masih memiliki kesalahan, baik itu dalam segi teknik maupun dalam bahasa. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi menyempurnakan Makalah Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Makalah Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan ini bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

                                                                                                       Medan,    Desember 2019
                                                                Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.    1. Latar Belakang
            Peraturan perundang-undangan adalah setiap keputusan tertulis yang dibentuk, ditetapkan, dan dikeluarkan oleh pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum (berdaya laku ke luar) dan berlaku terus menerus. Peraturan perundang-undangan dan peraturan memiliki kekuatan mengikat atau undang-undang dan peraturan itu harus dilaksanakan. Seseorang yang melanggar peraturan dan undang-undang, akan dikenai sanksi atau hukuman. Hukuman itu dapat berupa denda atau pun kurungan penjara.
Pengertian hutan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan dan berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap disebut sebagai kawasan hutan. Berdasarkan unsur pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan hutan, dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, kemudian untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat.
Pada dasarnya, hutan mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, yakni hutan sebagai sumber daya alam dan hutan sebagai ekosistem. Hutan sebagai sumber daya alam menyimpan potensi pemanfaatan yang digunakan untuk tujuan kepentingan pembangunan nasional, sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sedangkan hutan sebagai ekosistem menjamin kelestarian sumber daya alam hayati yang terdiri dari hewan, tumbuhan yang hidup didalamnya maupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Kebijakan pengelolaan hutan harus melihat kedua sisi hutan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam arti bahwa hutan dapat dilindungi, dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatakan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan keutamaannya, secara optimal demi kepentingan pembangunan nasional.
            Hukum kehutanan merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji dan di analisis karena berkaitan dengan dengan bagaimana norma, kaedah atau peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan dapat dijalankan dan dilaksanakan dengan baik. Kehutanan yang asal adalah hutan merupakan karunia dan amanah dari tuhan yang maha esa, merupakan harta kekeayaan yang diatur oleh pemerintah, memberikan kegunaan bagi umat manusia, oleh sebab itu wajib dijaga, ditangani, dan digunakan secara maksimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara berkesinambungan. Hutan sebagai salah satu penentu penyangga kehidupan dan sumber kesejahteraan rakyat, semakin menurun keadaannya, oleh sebab itu eksistensinya harus dijaga secara terus menerus, agara tetap abadi, dan ditangani dengan budi pekerti yang luhur, berkeadilan, berwibawa, transparan, dan professional serta bertanggung jawab.
1.    2. Rumusan masalah
1.        Apa hal yang melatarbelakangi dibentuknya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan?
2.        Apa-apa saja isi atau ketentuan yang diatur di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan?
3.        Bagaimana eksistensi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan setelah dibentuk selama 20 tahun ?
1.    3. Tujuan
1.        Untuk memahami dan mengerti apa hal yang melatarbelakangi dibentuknya UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.
2.        Untuk mengetahui ketentuan atau poin yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
3.        Untuk mengetahui kesesuaian atau eksistensi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan setelah dibentuk selama 20 tahun.




BAB II
ISI
2.    1. Latar Belakang Pembentukan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Deforestasi di Indonesia mempunyai sejarah panjang, semasa penjajahan Belanda deforestasi terjadi karena kebijakan yang mengijinkan penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi, pembuatan kapal, ijin pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian, yang memaksakan perubahan fungsi hutan menjadi kebun tebu, kopi, nila dan karet. Setelah lebih dari 200 tahun lamanya hutan alam jati dieksploitasi secara besar-besaran oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memasok bahan baku industri-industri kapal kayu milik pengusaha Cina dan Belanda. Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan jati di Jawa mengalami degradasi yang sangat serius, sehingga mulai mengancam kelangsungan hidup perusahaan-perusahaan kapal kayu yang mengandalkan pasokan kayu jati dari kawasan hutan. Selama masa penjajahan Jepang, tidak ada usaha rehabilitasi hutan yang dilakukan, bahkan degradasi hutan semakin meningkat dari tahun 1942 sampai 1945.
Sejak awal tahun 1950-an, pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai program rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan rehabilitasi yang pertama adalah Gerakan Karang Kitri, dimulai pada bulan Oktober 1951 yang merupakan sebuah kampanye nasional atau himbauan kepada masyarakat untuk menanam pohon di pekarangan rumahnya Deforestasi menjadi masalah yang serius pada awal tahun 1970-an; seiring dengan kebijakan pemerintah oder baru untuk meningkatkan ekonomi nasional dengan mengeluarkan ijin penebangan kayu untuk pengusaha di hutan Pulau Jawa. Selama tahun 1970-an, Indonesia merupakan negara eksportir kayu tropis terbesar di dunia yang mengekspor sekitar 300 juta m3 ke pasar internasional. Pemerintah telah mengalokasikan lebih dari 60 juta ha hutan kepada perusahaan HPH selama lebih dari 30 tahun.
Kebijakan over eksploitasi orde baru tersebut mewariskan konflik-konflik yang berkepanjangan dan tidak berkesudahaan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan antara masyarakat lokal dengan pemegang HPH, masyarakat lokal dengan pendatang, masyarakat lokal dengan pemerintah. Konflik tersebut menjurus pada pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tahun 1998 merupakan tahun penting dalam perubahan politik di Indonesia. Setelah 32 tahun berkuasa, akhirnya Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto mundur, dan berturut-turut (1998 – 2004) digantikan oleh Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Soesilo Bambang Yudoyono (2004 – 2009; 2009-2014). Pemerintahan baru ini dinamakan dengan Orde Reformasi. Perubahan situasi politik ini diikuti semakin gencarnya tuntutan dari masyarakat atas manfaat dari hutan, yang ditandai dengan meningkatnya kasus perambahan dalam kawasan. Kasus konflik seperti tuntutan yang tumpang tindih atas sumberdaya hutan antar kelompok masyarakat dan pemerintah daerah atau perusahaan kehutanan sering terjadi hampir di setiap propinsi.
Orde Reformasi berupaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan reformasi konstutisi, legislasi, birokrasi dan demokrasi. Sebagai dampak dari reformasi legislasi, maka banyak peraturan perundang-undangan produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK).
2.2.  Ketentuan yang Diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
            UU No. 41 Tahun 1999 terdiri dari 27 Bab dan 84 Pasal, UU ini disahkan Oleh Mantan Presiden Bacharudin Jusuf Habibie pada tanggal 30 September 1999. Hal-hal yang diatur dalam UU ini meliputi Penguasaan Hutan, Status dan Fungsi Hutan, Pengurusan Hutan, Perencanaan Kehutanan, Pengelolaan Hutan, Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan Serta Punyuluhan Kehutanan, Pengawasan, Penyerahan Kewenangan, Masyarakat Hukum Adat, Peran Serta Masyarakat, Gugatan Perwakilan, Penyelesaian Gugatan Kehutanan, Penyidilan, Ketentuan Pidana, Ganti Rugi dan Sanksi Administratif, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.
            Adapun ketentuan pidana apabila melanggar ketetuan yang ada dalam UU ini bervariasi yaitu berupa kurungan penjara 3 bulan sampai 15 tahun dan denda berkisar antara Rp. 10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah) sampai Rp. 10.000.000.000 (Sepuluh Miliar Rupiah).
2.3.  Eksistensi UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Disadari atau tidak, banyak pihak yang menilai bahwa UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang Undang (UU tentang Kehutanan) sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, serta tuntutan perkembangan keadaan saat ini. Dalam implementasi Undang Undang tersebut masih banyak isu dan permasalahan, seperti berkurangnya luas lahan berhutan/ deforestasi, alih fungsi kawasan hutan, perusakan dan perambahan hutan, kasus kebakaran hutan, konflik tenurial dan konflik sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan, termasuk masyarakat hukum adat. Selain permasalahan tersebut juga terdapat disharmonisasi dengan peraturan kebijakan lainnya.
            Menanggapi berbagai isu dan atau permasalahan kehutanan yang mencuat, maka diperlukan langkah kolektif yang konkret untuk menempatkan posisi persoalan kerangka pikir dan stagnasi berpikir dalam proses pembaruan kebijakan kehutanan sebagai kepedulian kolektif untuk kemudian dipecahkan secara kolektif pula terutama dalam memecah hegemoni proses konstruksi kebijakan. Membangun jaringan aktor dan menata mekanismenya menjadi prioritas yang perlu disegerakan, sebelum menyelesaikan hal lainnya berupa peran pengetahuan dan ilmuwan dalam proses kebijakan, kepentingan politik, dan partisipasi publik. Konkretnya, pemerintah perlu memfasilitasi prosesnya secara inklusif, terbuka, dan partisipatif. Untuk itu, pemerintah dituntut untuk memperkecil atau bahkan meniadakan sifat dominan dan hegemoninya dalam proses penyusunan kebijakan, seperti kecenderungannya selama ini.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.  Peraturan perundang-undangan adalah setiap keputusan tertulis yang dibentuk, ditetapkan, dan dikeluarkan oleh pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum (berdaya laku ke luar) dan berlaku terus menerus.
2.  Menurut UU No. 41 Tahun 1999, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
3.  UU No. 41 Tahun 1999 terdiri dari 27 Bab dan 84 Pasal, UU ini disahkan Oleh Mantan Presiden Bacharudin Jusuf Habibie pada tanggal 30 September 1999.
4. Hal-hal yang diatur dalam UU ini meliputi Penguasaan Hutan, Status dan Fungsi Hutan, Pengurusan Hutan, Perencanaan Kehutanan, Pengelolaan Hutan, dan lain sebagainya.
5. Dalam implementasi UU No. 41 Tahun 1999 masih banyak isu dan permasalahan yang terjadi, seperti berkurangnya luas lahan berhutan/ deforestasi, alih fungsi kawasan hutan, perusakan dan perambahan hutan, kasus kebakaran hutan.

Saran
            Sebaiknya Pemerintah atau Pejabat terkait seharusnya merevisi atau memperkuat isi serta ketentuan yang ada dalam UU ini, sehingga memberi sanksi yang sesuai dan tidak dapat memberi celah bagi para pelanggar.






DAFTAR PUSTAKA
Henri, J. dan Rhiti, H. 2015. Aspek Hukum Perlindungan Hutan dan Masyarakat Adat terhadap Pertambangan Batu Bara di Kampung Tukul Kecamatan Tering Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 1(1):4.
Najicha, Fatma. 2017. Politik Hukum Perundang–Undangan Kehutanan Dalam Pemberian Izin Kegiatan Pertambangan Di Kawasan Hutan Ditinjau Dari Strategi Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Berkeadilan. Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS. 5(1):120.
Prawesthi, Wahyu. 2016. Politik Kehutanan dalam Penegakan Hukum Lingkungannya dan Pengendalian Pengurangan Risiko Bencana. Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan. 12(1):1782.


Syihabudin. 2013. Kajian terhadap Jenis dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jurnal Hukum. 23(10):50.