Kamis, 26 Desember 2019

REVIEW UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

Makalah Kebijakan dan Perundang-Undangan Kehutanan                              Medan,   Desember 2019
REVIEW UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

Dosen Penanggungjawab:
Dr. Agus Purwoko, S. Hut., M. Si.

Disusun Oleh :
Yon Felix Hutagalung
181201115

HUT 3C









PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019












KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Makalah Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan yang berjudul “Review UU No. 41 Tahun 1999” ini dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian Makalah ini, penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Agus Purwoko, S. Hut., M. Si. selaku Dosen Penanggung jawab Mata Kuliah Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan, yang telah mengajarkan materi dengan baik, yang hasilnya kemudian dipaparkan dalam Makalah ini.
Penulis sadar bahwa penulisan Makalah ini masih memiliki kesalahan, baik itu dalam segi teknik maupun dalam bahasa. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi menyempurnakan Makalah Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Makalah Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan ini bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

                                                                                                       Medan,    Desember 2019
                                                                Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.    1. Latar Belakang
            Peraturan perundang-undangan adalah setiap keputusan tertulis yang dibentuk, ditetapkan, dan dikeluarkan oleh pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum (berdaya laku ke luar) dan berlaku terus menerus. Peraturan perundang-undangan dan peraturan memiliki kekuatan mengikat atau undang-undang dan peraturan itu harus dilaksanakan. Seseorang yang melanggar peraturan dan undang-undang, akan dikenai sanksi atau hukuman. Hukuman itu dapat berupa denda atau pun kurungan penjara.
Pengertian hutan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan dan berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap disebut sebagai kawasan hutan. Berdasarkan unsur pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan hutan, dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, kemudian untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat.
Pada dasarnya, hutan mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, yakni hutan sebagai sumber daya alam dan hutan sebagai ekosistem. Hutan sebagai sumber daya alam menyimpan potensi pemanfaatan yang digunakan untuk tujuan kepentingan pembangunan nasional, sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sedangkan hutan sebagai ekosistem menjamin kelestarian sumber daya alam hayati yang terdiri dari hewan, tumbuhan yang hidup didalamnya maupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Kebijakan pengelolaan hutan harus melihat kedua sisi hutan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam arti bahwa hutan dapat dilindungi, dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatakan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan keutamaannya, secara optimal demi kepentingan pembangunan nasional.
            Hukum kehutanan merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji dan di analisis karena berkaitan dengan dengan bagaimana norma, kaedah atau peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan dapat dijalankan dan dilaksanakan dengan baik. Kehutanan yang asal adalah hutan merupakan karunia dan amanah dari tuhan yang maha esa, merupakan harta kekeayaan yang diatur oleh pemerintah, memberikan kegunaan bagi umat manusia, oleh sebab itu wajib dijaga, ditangani, dan digunakan secara maksimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara berkesinambungan. Hutan sebagai salah satu penentu penyangga kehidupan dan sumber kesejahteraan rakyat, semakin menurun keadaannya, oleh sebab itu eksistensinya harus dijaga secara terus menerus, agara tetap abadi, dan ditangani dengan budi pekerti yang luhur, berkeadilan, berwibawa, transparan, dan professional serta bertanggung jawab.
1.    2. Rumusan masalah
1.        Apa hal yang melatarbelakangi dibentuknya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan?
2.        Apa-apa saja isi atau ketentuan yang diatur di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan?
3.        Bagaimana eksistensi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan setelah dibentuk selama 20 tahun ?
1.    3. Tujuan
1.        Untuk memahami dan mengerti apa hal yang melatarbelakangi dibentuknya UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.
2.        Untuk mengetahui ketentuan atau poin yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
3.        Untuk mengetahui kesesuaian atau eksistensi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan setelah dibentuk selama 20 tahun.




BAB II
ISI
2.    1. Latar Belakang Pembentukan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Deforestasi di Indonesia mempunyai sejarah panjang, semasa penjajahan Belanda deforestasi terjadi karena kebijakan yang mengijinkan penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi, pembuatan kapal, ijin pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian, yang memaksakan perubahan fungsi hutan menjadi kebun tebu, kopi, nila dan karet. Setelah lebih dari 200 tahun lamanya hutan alam jati dieksploitasi secara besar-besaran oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memasok bahan baku industri-industri kapal kayu milik pengusaha Cina dan Belanda. Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan jati di Jawa mengalami degradasi yang sangat serius, sehingga mulai mengancam kelangsungan hidup perusahaan-perusahaan kapal kayu yang mengandalkan pasokan kayu jati dari kawasan hutan. Selama masa penjajahan Jepang, tidak ada usaha rehabilitasi hutan yang dilakukan, bahkan degradasi hutan semakin meningkat dari tahun 1942 sampai 1945.
Sejak awal tahun 1950-an, pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai program rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan rehabilitasi yang pertama adalah Gerakan Karang Kitri, dimulai pada bulan Oktober 1951 yang merupakan sebuah kampanye nasional atau himbauan kepada masyarakat untuk menanam pohon di pekarangan rumahnya Deforestasi menjadi masalah yang serius pada awal tahun 1970-an; seiring dengan kebijakan pemerintah oder baru untuk meningkatkan ekonomi nasional dengan mengeluarkan ijin penebangan kayu untuk pengusaha di hutan Pulau Jawa. Selama tahun 1970-an, Indonesia merupakan negara eksportir kayu tropis terbesar di dunia yang mengekspor sekitar 300 juta m3 ke pasar internasional. Pemerintah telah mengalokasikan lebih dari 60 juta ha hutan kepada perusahaan HPH selama lebih dari 30 tahun.
Kebijakan over eksploitasi orde baru tersebut mewariskan konflik-konflik yang berkepanjangan dan tidak berkesudahaan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan antara masyarakat lokal dengan pemegang HPH, masyarakat lokal dengan pendatang, masyarakat lokal dengan pemerintah. Konflik tersebut menjurus pada pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tahun 1998 merupakan tahun penting dalam perubahan politik di Indonesia. Setelah 32 tahun berkuasa, akhirnya Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto mundur, dan berturut-turut (1998 – 2004) digantikan oleh Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Soesilo Bambang Yudoyono (2004 – 2009; 2009-2014). Pemerintahan baru ini dinamakan dengan Orde Reformasi. Perubahan situasi politik ini diikuti semakin gencarnya tuntutan dari masyarakat atas manfaat dari hutan, yang ditandai dengan meningkatnya kasus perambahan dalam kawasan. Kasus konflik seperti tuntutan yang tumpang tindih atas sumberdaya hutan antar kelompok masyarakat dan pemerintah daerah atau perusahaan kehutanan sering terjadi hampir di setiap propinsi.
Orde Reformasi berupaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan reformasi konstutisi, legislasi, birokrasi dan demokrasi. Sebagai dampak dari reformasi legislasi, maka banyak peraturan perundang-undangan produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK).
2.2.  Ketentuan yang Diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
            UU No. 41 Tahun 1999 terdiri dari 27 Bab dan 84 Pasal, UU ini disahkan Oleh Mantan Presiden Bacharudin Jusuf Habibie pada tanggal 30 September 1999. Hal-hal yang diatur dalam UU ini meliputi Penguasaan Hutan, Status dan Fungsi Hutan, Pengurusan Hutan, Perencanaan Kehutanan, Pengelolaan Hutan, Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan Serta Punyuluhan Kehutanan, Pengawasan, Penyerahan Kewenangan, Masyarakat Hukum Adat, Peran Serta Masyarakat, Gugatan Perwakilan, Penyelesaian Gugatan Kehutanan, Penyidilan, Ketentuan Pidana, Ganti Rugi dan Sanksi Administratif, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.
            Adapun ketentuan pidana apabila melanggar ketetuan yang ada dalam UU ini bervariasi yaitu berupa kurungan penjara 3 bulan sampai 15 tahun dan denda berkisar antara Rp. 10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah) sampai Rp. 10.000.000.000 (Sepuluh Miliar Rupiah).
2.3.  Eksistensi UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Disadari atau tidak, banyak pihak yang menilai bahwa UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang Undang (UU tentang Kehutanan) sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, serta tuntutan perkembangan keadaan saat ini. Dalam implementasi Undang Undang tersebut masih banyak isu dan permasalahan, seperti berkurangnya luas lahan berhutan/ deforestasi, alih fungsi kawasan hutan, perusakan dan perambahan hutan, kasus kebakaran hutan, konflik tenurial dan konflik sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan, termasuk masyarakat hukum adat. Selain permasalahan tersebut juga terdapat disharmonisasi dengan peraturan kebijakan lainnya.
            Menanggapi berbagai isu dan atau permasalahan kehutanan yang mencuat, maka diperlukan langkah kolektif yang konkret untuk menempatkan posisi persoalan kerangka pikir dan stagnasi berpikir dalam proses pembaruan kebijakan kehutanan sebagai kepedulian kolektif untuk kemudian dipecahkan secara kolektif pula terutama dalam memecah hegemoni proses konstruksi kebijakan. Membangun jaringan aktor dan menata mekanismenya menjadi prioritas yang perlu disegerakan, sebelum menyelesaikan hal lainnya berupa peran pengetahuan dan ilmuwan dalam proses kebijakan, kepentingan politik, dan partisipasi publik. Konkretnya, pemerintah perlu memfasilitasi prosesnya secara inklusif, terbuka, dan partisipatif. Untuk itu, pemerintah dituntut untuk memperkecil atau bahkan meniadakan sifat dominan dan hegemoninya dalam proses penyusunan kebijakan, seperti kecenderungannya selama ini.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.  Peraturan perundang-undangan adalah setiap keputusan tertulis yang dibentuk, ditetapkan, dan dikeluarkan oleh pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum (berdaya laku ke luar) dan berlaku terus menerus.
2.  Menurut UU No. 41 Tahun 1999, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
3.  UU No. 41 Tahun 1999 terdiri dari 27 Bab dan 84 Pasal, UU ini disahkan Oleh Mantan Presiden Bacharudin Jusuf Habibie pada tanggal 30 September 1999.
4. Hal-hal yang diatur dalam UU ini meliputi Penguasaan Hutan, Status dan Fungsi Hutan, Pengurusan Hutan, Perencanaan Kehutanan, Pengelolaan Hutan, dan lain sebagainya.
5. Dalam implementasi UU No. 41 Tahun 1999 masih banyak isu dan permasalahan yang terjadi, seperti berkurangnya luas lahan berhutan/ deforestasi, alih fungsi kawasan hutan, perusakan dan perambahan hutan, kasus kebakaran hutan.

Saran
            Sebaiknya Pemerintah atau Pejabat terkait seharusnya merevisi atau memperkuat isi serta ketentuan yang ada dalam UU ini, sehingga memberi sanksi yang sesuai dan tidak dapat memberi celah bagi para pelanggar.






DAFTAR PUSTAKA
Henri, J. dan Rhiti, H. 2015. Aspek Hukum Perlindungan Hutan dan Masyarakat Adat terhadap Pertambangan Batu Bara di Kampung Tukul Kecamatan Tering Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 1(1):4.
Najicha, Fatma. 2017. Politik Hukum Perundang–Undangan Kehutanan Dalam Pemberian Izin Kegiatan Pertambangan Di Kawasan Hutan Ditinjau Dari Strategi Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Berkeadilan. Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS. 5(1):120.
Prawesthi, Wahyu. 2016. Politik Kehutanan dalam Penegakan Hukum Lingkungannya dan Pengendalian Pengurangan Risiko Bencana. Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan. 12(1):1782.


Syihabudin. 2013. Kajian terhadap Jenis dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jurnal Hukum. 23(10):50.