Makalah Kebijakan dan
Perundang-Undangan Kehutanan Medan, Desember 2019
REVIEW UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN
Dosen
Penanggungjawab:
Dr. Agus Purwoko, S. Hut., M. Si.
Disusun
Oleh :
Yon Felix Hutagalung
181201115
HUT 3C
PROGRAM
STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS
KEHUTANAN
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Makalah Kebijakan Perundang-undangan
Kehutanan yang berjudul “Review UU No. 41 Tahun 1999” ini dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Kebijakan
Perundang-undangan Kehutanan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan,
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian Makalah ini, penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Agus Purwoko, S. Hut., M. Si. selaku Dosen Penanggung jawab Mata Kuliah Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan, yang telah mengajarkan materi dengan baik, yang
hasilnya kemudian dipaparkan dalam Makalah ini.
Penulis sadar bahwa penulisan Makalah ini masih memiliki kesalahan, baik itu dalam segi teknik maupun dalam bahasa.
Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
demi menyempurnakan Makalah Kebijakan Perundang-undangan Kehutanan ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Makalah Kebijakan
Perundang-undangan Kehutanan ini
bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Medan, Desember 2019
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.
1. Latar Belakang
Peraturan
perundang-undangan adalah setiap keputusan tertulis yang dibentuk, ditetapkan,
dan dikeluarkan oleh pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi
aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum (berdaya laku ke
luar) dan berlaku terus menerus. Peraturan perundang-undangan dan peraturan
memiliki kekuatan mengikat atau undang-undang dan peraturan itu harus
dilaksanakan. Seseorang yang melanggar peraturan dan undang-undang, akan
dikenai sanksi atau hukuman. Hukuman itu dapat berupa denda atau pun kurungan
penjara.
Pengertian hutan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1
angka 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya
tidak dapat dipisahkan dan berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang
ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap disebut sebagai kawasan hutan. Berdasarkan unsur pokok yang
terkandung di dalam definisi kawasan hutan, dijadikan dasar pertimbangan
ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, kemudian untuk
menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan
sosial ekonomi masyarakat.
Pada dasarnya, hutan mempunyai dua sisi yang tidak
dapat dipisahkan, yakni hutan sebagai sumber daya alam dan hutan sebagai
ekosistem. Hutan sebagai sumber daya alam menyimpan potensi pemanfaatan yang
digunakan untuk tujuan kepentingan pembangunan nasional, sejalan dengan amanat
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sedangkan hutan sebagai ekosistem menjamin
kelestarian sumber daya alam hayati yang terdiri dari hewan, tumbuhan yang
hidup didalamnya maupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun
bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup,
yang kehadirannya tidak dapat diganti. Kebijakan pengelolaan hutan harus
melihat kedua sisi hutan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam arti bahwa hutan
dapat dilindungi, dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatakan dengan tetap memperhatikan
sifat, karakteristik dan keutamaannya, secara optimal demi kepentingan
pembangunan nasional.
Hukum
kehutanan merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji dan di analisis karena
berkaitan dengan dengan bagaimana norma, kaedah atau peraturan perundang-undangan
dibidang kehutanan dapat dijalankan dan dilaksanakan dengan baik. Kehutanan
yang asal adalah hutan merupakan karunia dan amanah dari tuhan yang maha esa,
merupakan harta kekeayaan yang diatur oleh pemerintah, memberikan kegunaan bagi
umat manusia, oleh sebab itu wajib dijaga, ditangani, dan digunakan secara
maksimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara berkesinambungan.
Hutan sebagai salah satu penentu penyangga kehidupan dan sumber kesejahteraan
rakyat, semakin menurun keadaannya, oleh sebab itu eksistensinya harus dijaga
secara terus menerus, agara tetap abadi, dan ditangani dengan budi pekerti yang
luhur, berkeadilan, berwibawa, transparan, dan professional serta bertanggung jawab.
1.
2. Rumusan masalah
1.
Apa hal yang
melatarbelakangi dibentuknya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan?
2.
Apa-apa saja isi
atau ketentuan yang diatur di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan?
3.
Bagaimana
eksistensi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan setelah dibentuk selama 20
tahun ?
1.
3. Tujuan
1.
Untuk memahami
dan mengerti apa hal yang melatarbelakangi dibentuknya UU No. 41 Tahun 1999
tentang kehutanan.
2.
Untuk mengetahui
ketentuan atau poin yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
3.
Untuk mengetahui
kesesuaian atau eksistensi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan setelah
dibentuk selama 20 tahun.
BAB II
ISI
2.
1. Latar Belakang Pembentukan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Deforestasi di
Indonesia mempunyai sejarah panjang, semasa penjajahan Belanda deforestasi
terjadi karena kebijakan yang mengijinkan penebangan hutan untuk kebutuhan
konstruksi, pembuatan kapal, ijin pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian,
yang memaksakan perubahan fungsi hutan menjadi kebun tebu, kopi, nila dan karet. Setelah
lebih dari 200 tahun lamanya hutan alam jati dieksploitasi secara besar-besaran
oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memasok bahan baku industri-industri kapal
kayu milik pengusaha Cina dan Belanda. Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan
jati di Jawa mengalami degradasi yang sangat serius, sehingga mulai mengancam
kelangsungan hidup perusahaan-perusahaan kapal kayu yang mengandalkan pasokan
kayu jati dari kawasan hutan. Selama masa penjajahan Jepang, tidak ada
usaha rehabilitasi hutan yang dilakukan, bahkan degradasi hutan semakin
meningkat dari tahun 1942 sampai 1945.
Sejak awal tahun 1950-an, pemerintah Indonesia
telah melaksanakan berbagai program rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan
rehabilitasi yang pertama adalah Gerakan Karang Kitri, dimulai pada bulan
Oktober 1951 yang merupakan sebuah kampanye nasional atau himbauan kepada
masyarakat untuk menanam pohon di pekarangan rumahnya Deforestasi menjadi
masalah yang serius pada awal tahun 1970-an; seiring dengan kebijakan
pemerintah oder baru untuk meningkatkan ekonomi nasional dengan mengeluarkan
ijin penebangan kayu untuk pengusaha di hutan Pulau Jawa. Selama tahun 1970-an,
Indonesia merupakan negara eksportir kayu tropis terbesar di dunia yang
mengekspor sekitar 300 juta m3 ke pasar internasional. Pemerintah
telah mengalokasikan lebih dari 60 juta ha hutan kepada perusahaan HPH selama
lebih dari 30 tahun.
Kebijakan over
eksploitasi orde baru tersebut mewariskan konflik-konflik yang berkepanjangan
dan tidak berkesudahaan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan
antara masyarakat lokal dengan pemegang HPH, masyarakat lokal dengan pendatang,
masyarakat lokal dengan pemerintah. Konflik tersebut menjurus pada pecahnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tahun 1998 merupakan tahun penting dalam
perubahan politik di Indonesia. Setelah 32 tahun berkuasa, akhirnya Rezim Orde
Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto mundur, dan berturut-turut (1998 –
2004) digantikan oleh Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan
Soesilo Bambang Yudoyono (2004 – 2009; 2009-2014). Pemerintahan baru ini
dinamakan dengan Orde Reformasi. Perubahan situasi politik ini diikuti semakin
gencarnya tuntutan dari masyarakat atas manfaat dari hutan, yang ditandai
dengan meningkatnya kasus perambahan dalam kawasan. Kasus konflik seperti
tuntutan yang tumpang tindih atas sumberdaya hutan antar kelompok masyarakat
dan pemerintah daerah atau perusahaan kehutanan sering terjadi hampir di setiap
propinsi.
Orde Reformasi
berupaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan reformasi
konstutisi, legislasi, birokrasi dan demokrasi. Sebagai dampak dari reformasi
legislasi, maka banyak peraturan perundang-undangan produk Orde Baru yang
diganti dan disesuaikan dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan,
yang diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (UUK).
2.2. Ketentuan yang Diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
UU No. 41 Tahun
1999 terdiri dari 27 Bab dan 84 Pasal, UU ini disahkan Oleh Mantan Presiden
Bacharudin Jusuf Habibie pada tanggal 30 September 1999. Hal-hal yang diatur
dalam UU ini meliputi Penguasaan Hutan, Status dan Fungsi Hutan, Pengurusan
Hutan, Perencanaan Kehutanan, Pengelolaan Hutan, Penelitian dan Pengembangan,
Pendidikan dan Latihan Serta Punyuluhan Kehutanan, Pengawasan, Penyerahan
Kewenangan, Masyarakat Hukum Adat, Peran Serta Masyarakat, Gugatan Perwakilan,
Penyelesaian Gugatan Kehutanan, Penyidilan, Ketentuan Pidana, Ganti Rugi dan
Sanksi Administratif, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.
Adapun
ketentuan pidana apabila melanggar ketetuan yang ada dalam UU ini bervariasi yaitu
berupa kurungan penjara 3 bulan sampai 15 tahun dan denda berkisar antara Rp.
10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah) sampai Rp. 10.000.000.000 (Sepuluh Miliar
Rupiah).
2.3. Eksistensi UU
No. 40 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Disadari atau tidak, banyak pihak yang
menilai bahwa UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU
No. 1 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang Undang (UU tentang Kehutanan) sudah tidak sesuai lagi dengan
prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, serta tuntutan perkembangan keadaan
saat ini. Dalam implementasi Undang Undang tersebut masih banyak isu dan
permasalahan, seperti berkurangnya luas lahan berhutan/ deforestasi, alih
fungsi kawasan hutan, perusakan dan perambahan hutan, kasus kebakaran hutan,
konflik tenurial dan konflik sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan,
termasuk masyarakat hukum adat. Selain permasalahan tersebut juga terdapat
disharmonisasi dengan peraturan kebijakan lainnya.
Menanggapi
berbagai isu dan atau permasalahan kehutanan yang mencuat, maka diperlukan
langkah kolektif yang konkret untuk menempatkan posisi persoalan kerangka pikir
dan stagnasi berpikir dalam proses pembaruan kebijakan kehutanan sebagai
kepedulian kolektif untuk kemudian dipecahkan secara kolektif pula terutama
dalam memecah hegemoni proses konstruksi kebijakan. Membangun jaringan aktor
dan menata mekanismenya menjadi prioritas yang perlu disegerakan, sebelum
menyelesaikan hal lainnya berupa peran pengetahuan dan ilmuwan dalam proses
kebijakan, kepentingan politik, dan partisipasi publik. Konkretnya, pemerintah
perlu memfasilitasi prosesnya secara inklusif, terbuka, dan partisipatif. Untuk
itu, pemerintah dituntut untuk memperkecil atau bahkan meniadakan sifat dominan
dan hegemoninya dalam proses penyusunan kebijakan, seperti kecenderungannya
selama ini.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Peraturan
perundang-undangan adalah setiap keputusan tertulis yang dibentuk, ditetapkan,
dan dikeluarkan oleh pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi
aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum (berdaya laku ke
luar) dan berlaku terus menerus.
2. Menurut UU No.
41 Tahun 1999, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
3. UU
No. 41 Tahun 1999 terdiri dari 27 Bab dan 84 Pasal, UU ini disahkan Oleh Mantan
Presiden Bacharudin Jusuf Habibie pada tanggal 30 September 1999.
4. Hal-hal
yang diatur dalam UU ini meliputi Penguasaan Hutan, Status dan Fungsi Hutan,
Pengurusan Hutan, Perencanaan Kehutanan, Pengelolaan Hutan, dan lain
sebagainya.
5. Dalam implementasi UU No. 41
Tahun 1999 masih banyak isu dan permasalahan yang terjadi, seperti berkurangnya
luas lahan berhutan/ deforestasi, alih fungsi kawasan hutan, perusakan dan
perambahan hutan, kasus kebakaran hutan.
Saran
Sebaiknya
Pemerintah atau Pejabat terkait seharusnya merevisi atau memperkuat isi serta ketentuan
yang ada dalam UU ini, sehingga memberi sanksi yang sesuai dan tidak dapat
memberi celah bagi para pelanggar.
DAFTAR PUSTAKA
Henri, J. dan Rhiti, H.
2015. Aspek Hukum Perlindungan Hutan dan Masyarakat Adat terhadap Pertambangan
Batu Bara di Kampung Tukul Kecamatan Tering Kabupaten Kutai Barat Kalimantan
Timur. Jurnal Fakultas Hukum Universitas
Atma Jaya Yogyakarta. 1(1):4.
Najicha, Fatma. 2017. Politik
Hukum Perundang–Undangan Kehutanan Dalam Pemberian Izin Kegiatan Pertambangan Di
Kawasan Hutan Ditinjau Dari Strategi Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
Berkeadilan. Jurnal Pasca Sarjana Hukum
UNS. 5(1):120.
Prawesthi, Wahyu. 2016.
Politik Kehutanan dalam Penegakan Hukum Lingkungannya dan Pengendalian
Pengurangan Risiko Bencana. Jurnal Kajian
Politik dan Masalah Pembangunan. 12(1):1782.
Syihabudin. 2013. Kajian terhadap
Jenis dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jurnal Hukum. 23(10):50.